Definisi dan Jenis-jenis KDRT
Lalu, timbul pertanyaan, apakah perbuatan suka marah-marah/kasar secara verbal dan sering membanting pintu termasuk kekerasan?
Menurut Pasal 1 angka 1 UU PKDRT, Kekerasan dalam Rumah Tangga (“KDRT”) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Lebih lanjut, jenis-jenis KDRT dalam dikelompokkan ke dalam 5 bentuk, yaitu:[8]
Dengan demikian, menurut hemat kami perbuatan suami Anda yang suka marah-marah dan kasar secara verbal merupakan KDRT. Selain itu, perbuatan suami Anda yang seringkali membanting pintu, dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis, karena perbuatannya mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Anda).[9]
Pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp9 juta. Dalam hal kekerasan psikis dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara maksimal 4 bulan atau denda maksimal Rp3 juta.[10]
Baca juga: Hukum KDRT Suami Pukuli Istri Berkali-kali
Sebagai informasi, Anda sebagai korban KDRT dapat melaporkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga melalui beberapa layanan sebagai berikut:
Korban KDRT dapat pula melaporkan kejadian KDRT langsung ke pihak kepolisian. Langkah lebih detail dapat disimak dalam Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Putusan Pengadilan Agama Sarolangun 0077/Pdt.G/2011/PA.Srl.
[2] Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan
[4] Pasal 116 huruf g dan h KHI
[5] Pasal 132 ayat (1) KHI
[6] Pasal 133 ayat (2) KHI
[7] Pasal 119 ayat (1) KHI
[8] Mohammad ‘Azzam Manan, MA. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Sosiologis. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5, No. 3, 2008, hal. 15 – 16
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada 12 Agustus 2013, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Haris Satiadi, S.H. dari Haris Satiadi & Partners pada 3 April 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pada dasarnya, Pasal 19 PP 9/1975 jo. Pasal 116 KHI mengatur bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan:
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa baik dalam PP 9/1975 maupun KHI, aturan hukum tidak mengkategorikan pisah meja dan tempat tidur (scheiding van tafel en bed) sebagai alasan perceraian.
Baca juga: Pembuktian Zina sebagai Alasan Perceraian
Saya telah menikah dalam Gereja Katolik selama 10 tahun. Baru-baru ini saya mendapati suami saya berselingkuh. Saya ingin menuntut cerai dari suami saya. Yang menjadi pertanyaan saya:
Dalam Gereja Katolik, kita tidak mengenal CERAI, sebab “Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Yang ada dalam Gereja Katolik dalam hal ini, adalah PEMBATALAN NIKAH.
Dalam hal ini, perlu ada hal-hal hakiki dalam perkawinan yang menyebabkan sahnya perkawinan, tidak ada! Umpama: adanya penipuan, paksaan (ketidak bebasan), adanya halangan hukum (dalam status tidak bebas – terikat oleh nikah resmi/kaul biara; usia, hubungan darah), adanya syarat yang bertentangan dengan iman Katolik, serta dokumen yang dibutuhklan tidak ada, akhirnya karena belum pernah mengadakan hubungan intim sebagai suami istri.
Tak perlu cerai, Pisah ranjang bisa –; untuk ini perlu ada izin resmi dari Gereja. Entah yang mau menuntut cerai itu sang istri atau sang suami – baiknya sebelumnya berani memeriksa diri tentang hubungan personal dengan pasangannya yang sudah berjalan sepuluh tahun.
Seseorang berbuat selingkuh tentu ada sebab musababnya, biasanya tentu ada peristiwa yang mendahuluinya. Ada masalah fisik ada masalah psikologis! Kalau sang suami atau istri bosan sekali dengan pasangannya, atau merasa tak terpenuhi hasratnya sebagai pria dan wanita – yang sebenarnya berhak –, memang dia lalu mudah terjatuh dalam godaan, apalagi kalau ada yang ‘menawarkan dirinya’ mengobati kekecewaannya itu (ada pihak ketiga)!
Praktek ‘perselingkuhan‘ itu, kalau tidak disebabkan oleh pasangannya, juga dapat diteliti, apakah itu sudah terjadi terus sebelum perkawinan, adakah kelainan dalam sexualitasnya?
Kalau cerai, apakah boleh menerima Komuni? Masalahnya bukan hanya masalah hukum ‘boleh menerima komuni atau tidak kalau sudah bercerai’- , tetapi juga menjadi moral dan pastoral. Bagaimana nasib anak-anak yang telah terlahir. Tanggungjawab membesarkan anak-anak dan mendidik serta menanamkan nilai-nilai Kristiani, jauh lebih penting dan mendesak apakah seseorang yang cerai boleh menerima komuni atau tidak.
Mohon segera hubungi Romo Pembimbing Rohani anda, atau Pastor Paroki anda untuk berkonsultasi dengan beliau. Dan tentu saja sebelum anda berhak menyambut Sakramen Mahakudus, mau tidak mau perlu menyambut dahulu Sakramen Tobat.
Semoga, keluarga Pembaruan Karismatik Katolik (PKK), karena mengenal hakikat karismatik, dapat mengurangi kecenderungan untuk bercerai.
Rm Subroto Widjojo SJ
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bisakah Bercerai Karena Suami Selalu Membanting Pintu? yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada tanggal 17 Juli 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pisah Ranjang = Cerai?
Adapun istilah pisah meja dan tempat tidur atau scheiding van tafel en bed[1] sebenarnya merujuk pada Pasal 233 s.d. Pasal 249 KUH Perdata. Namun, aturan mengenai pisah ranjang yang diatur menurut KUH Perdata, dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai dengan Pasal 66 UU Perkawinan.
Walaupun istilah pisah meja dan tempat tidur sudah dinyatakan tidak berlaku, namun dalam praktik persidangan baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama, istilah pisah ranjang digunakan oleh hakim sebagai indikator kondisi rumah tangga. Hal ini nampak dalam SEMA 4/2014 yang selengkapnya mengatur sebagai berikut.
Berdasarkan Lampiran SEMA 4/2014 dalam Rumusan Hukum Pleno Kamar Peradilan Agama nomor 4, gugatan cerai dapat dikabulkan jika fakta menunjukkan rumah tangga sudah pecah (broken marriage) dengan indikator antara lain (hal. 15-16):
Kemudian sebagai informasi, ketentuan dalam SEMA 4/2014 tersebut disempurnakan dengan SEMA 3/2018 yang menyempurnakan Rumusan Hukum Pleno Kamar Peradilan Agama nomor 4 sehingga berbunyi:
Sehingga menjawab pertanyaan Anda, pisah meja dan tempat tidur/ scheiding van tafel en bed antara suami dan istri yang telah terjadi selama 1 tahun atau lebih bukanlah alasan perceraian. Namun, pisah ranjang dapat dijadikan indikator bahwa rumah tangga sudah pecah (broken marriage). Apabila Anda pada akhirnya memang ingin mengakhiri perkawinan, kami menyarankan agar Anda terlebih dahulu harus menentukan alasan perceraian sebagaimana dimaksud dalam PP 9/1975 maupun KHI.
Baca juga: Alasan-Alasan Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Butje Tampi. Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga Berdasarkan Pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Crimen, Vol. 2, No. 3, 2013.
[1] Butje Tampi. Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga Berdasarkan Pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Crimen, Vol. 2, No. 3, 2013, hal. 80
Pada dasarnya setiap orang tidak suka dibohongi. Hati bisa menjadi sakit apabila dibohongi oleh orang lain, apalagi oleh suami sendiri. Sosok suami yang seharusnya membimbing dan memberikan contoh yang baik kepada istri dan anak-anak ternyata malah berkata dusta dan menimbulkan kekecewaan. Tentu sikap suami tersebut tidak terpuji dan tidak pantas untuk dilakukan.
Allah Swt. pun melarang manusia untuk berbohong. Hal tersebut ada dalam firman-Nya surah Al-Baqarah ayat 42 berikut ini:
“Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan atau (janganlah kamu) menyembunyikan kebenaran sedang kamu mengetahuinya.” (Q.S. Al-Baqaroh: 42).
Pembohong Adalah Orang Munafik
Di dalam Islam, orang yang suka berbohong disebut sebagai orang yang munafik. Hal tersebut disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini:
“Tanda orang munafik ada tiga, pertama apabila berbicara berbohong, lalu apabila berjanji mengingkari atau menyelisihi janji, dan apabila diberi amanah berkhianat.”
Di dalam surah At-Taubah ayat 68, Allah Swt. memberikan balasan yang berat bagi mereka yang munafik. Allah Swt. berfirman:
“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.”
Baca Juga: Bolehkah Istri Bersedekah dengan Harta Suami?
Berbohong yang Dibolehkan
Meskipun berbohong dilarang oleh agama Islam, akan tetapi ada kondisi-kondisi tertentu yang membolehkan seseorang untuk berbohong. Berbohong di sini bukan untuk kejahatan, akan tetapi untuk nilai-nilai kemaslahatan.
“Aku tidak menganggapnya sebagai seorang pembohong. (Pertama), seorang laki-laki yang memperbaiki hubungan antara manusia. Ia mengatakan suatu perkataan (bohong), namun ia tidak bermaksud dengan perkataan itu kecuali untuk mendamaikan. (Kedua), seorang laki-laki yang berbohong dalam peperangan. Dan (ketiga), seorang laki-laki yang berbohong kepada istri atau istri yang berbohong kepada suami (untuk kebaikan).” (H.R. Abu Daud).
Dalam hadis yang lain, dibahas pula soal ini. Rasul saw. bersabda:
“Ada seseorang yang datang menemui Nabi saw. dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku berdosa jika aku berdusta kepada istriku?’” Nabi saw. pun menjawab, “Tidak boleh, karena Allah Ta’ala tidak menyukai dusta.” Lalu orang itu pun bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, (dusta yang aku ucapkan itu karena) aku ingin berdamai dengan istriku dan aku ingin senangkan hatinya.” Kemudian Nabi saw menjawab, “Tidak ada dosa atasmu.” (H.R. Al-Humaidi. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam silsilah Ash-Shahihah).
Dari hadis di atas, contoh lainnya seorang suami diperbolehkan berbohong misalnya saat berbohong dengan makanan buatan istri. Karena suami ingin menyenangkan hati istrinya sekaligus menghargai masakan yang dibuat istrinya, maka suami berbohong mengatakan masakan istrinya enak.
Selain itu, contoh lainnya misalnya mengucapkan bahwa istrinya cantik dan menawan untuk membuat suasana hati sang istri membaik. Selama tidak untuk menipu dan berbohong untuk keburukan, maka tidak mengapa suami berbohong kepada istrinya.
Baca Juga: Kriteria Suami Saleh dalam Keluarga
Tidak Menjadikan Bohong Sebagai Kebiasaan
Meskipun berbohong untuk kebaikan itu dibolehkan, tetapi suami tidak boleh menjadikan berbohong sebagai kebiasaan. Misalnya, berbohong kepada istri ada pekerjaan di kantor sehingga harus pulang terlambat, padahal ia terlambat karena berkumpul dengan teman-temannya.
Berhati-hatilah karena berbohong untuk keburukan akan menggiring pelakunya kepada neraka.
Dari Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, sedangkan kebaikan menuntun menuju surga. Sungguh seseorang yang membiasakan jujur niscaya dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada kemungkaran, sedangkan kemungkaran menjerumuskan ke neraka. Sungguh orang yang selalu berdusta akan dicatat sebagai pendusta.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Itulah penjelasan tentang hukum dibolehkannya seorang suami berbohong kepada istri. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan keislaman baru bagi Sahabat.
Jangan lupa untuk mengunjungi infak.id dari Rumah Zakat untuk menunaikan infak hariannya. Dengan berinfak, maka kita pun bisa membantu orang lain yang sedang kesulitan. Yuk, berinfak melalui infak.id!
Perasaan kamu tentang artikel ini ?
Koi adalah ikan hias yang dibudidayakan pertama di Tiongkok sekitar abad ke-5 SM, lalu dipopulerkan oleh Jepang sejak 1820. Nama “koi” merupakan bahasa Jepang dari “ikan mas” yang merupakan anggota dari genus Cyprinus.
Ikan ini kerap menjadi penghuni tempat-tempat suci seperti kuil dan biara. Di Jepang sendiri, ikan koi merupakan peliharaan yang dianggap bisa membawa keberuntungan. Hal ini juga menjadi penyebab harga ikan ini terbilang sangat mahal, bahkan bibitnya bisa dijual dengan harga jutaan.
Menurut ahli, ikan koi aman-aman saja untuk dimakan karena tidak ada efek samping atau bahaya setelah mengonsumsi jenis ikan satu ini.
Beberapa kandungan yang terdapat di dalam ikan koi memiliki banyak manfaat baik untuk tubuh di antaranya sebagai berikut:
Sumber : www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d26d5d860dd3/bisakah-bercerai-karena-suami-selalu-membanting-pintu/
Oleh : Dimas Hutomo, S.H.
Saya punya suami suka marah-marah, saya udah gakuat karena ia suka membanting pintu kalo lagi marah. Mukul sih enggak, tapi ya marah-marah terus. Bisakah saya menggugat cerai karena alasan itu?
Alasan Perceraian Menurut Hukum
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan (Pengadilan Negeri untuk yang beragama selain Islam dan Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam) yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan (mediasi) kedua belah pihak, yang mengacu ke Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan khusus yang beragama Islam mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).[1]
Adanya upaya sungguh-sungguh untuk berdamai diperlukan dalam permasalahan ini, karena perceraian hakikatnya adalah upaya terakhir jika memang suatu rumah tangga tidak dapat dipertahankan dan sulit untuk rukun kembali.
Pada dasarnya, suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Isteri pun wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.[2]
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, mengenai bisakah menggugat cerai suami karena sering marah-marah dan membanting pintu?
Pelu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 39 UU Perkawinan diatur bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Sedangkan, mengenai apa saja yang merupakan alasan-alasan perceraian, dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”), yang bunyinya:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
Alasaan tersebut juga diatur dalam Pasal 116 KHI, berbunyi:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
Kemudian, dalam Pasal 16 PP Perkawinan dikatakan bahwa Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 PP Perkawinan dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Jadi berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk bercerai harus terdapat alasan-alasan sebagaimana dijelaskan.
Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya bisa saja jika istri ingin bercerai karena suami selalu emosi dan membanting pintu, yang berakibat pada perselisihan dan pertengkaran secara sehingga rumah tangga tidak rukun. Tentunya alasan tersebut diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian yang diajukan istri.
Ulasan selengkapnya mengenai istri menggugat suami silakan baca artikel Bisakah Istri Diam-Diam Menggugat Cerai Suami?.
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat pada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 0018/Pdt.G/2014/PAJT yang menjadi penggugat adalah istri. Dalam gugatannya mengatakan bahwa tergugat (suami) mempunyai sifat cemburuan, kasar kepada penggugat, dan tergugat selalu membanting pintu apabila terjadi pertengkaran. penggugat dan tergugat pun telah pisah ranjang.Keluarga telah pernah mengupayakan agar berdamai dan dapat rukun kembali, akan tetapi tidak berhasil.
Pada pertimbangannya, Hakim menyatakan bahwa alasan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagai tersebut dalam Pasal 19 huruf f PP 9/1975 jo. Pasal 116 huruf f KHI jo. Pasal 33 dan 34 UU Perkawinan, dan telah melanggar Pasal 2 dan 4 perjanjian sighat ta’lik thalak, oleh karenanya gugatan penggugat tersebut patut dipertimbangkan dan dikabulkan.
Tergugat telah melanggar pasal 2 perjanjian sighat ta’lik thalak, berdasarkan sesuai dengan pasal 119 KHI, maka Hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan thalak satu bain sughro.
Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.[3]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 0018/Pdt.G/2014/PAJT.
[1] Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 115 KHI
[2] Pasal 34 UU Perkawinan
[3] Pasal 119 ayat (1) KHI
Gugatan Cerai oleh Istri
Terkait gugatan perceraian, KHI mengatur ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.[5]
Kemudian, gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.[6]
Ulasan selengkapnya mengenai ketentuan istri menggugat suami, dapat Anda temukan dalam artikel Bisakah Istri Diam-Diam Menggugat Cerai Suami? dan Cara Mengurus Surat Cerai dan Langkah Mengajukan Gugatannya.
Baca juga: Panduan Cara Mengurus Surat Cerai Online dan Offline
Sebagai contoh kasus, dalam Putusan PA Sarolangun 0077/Pdt.G/2011/PA.Srl, penggugat mengajukan gugatan perceraian terhadap tergugat, karena antara penggugat dan tergugat terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh tergugat yang sering meninggalkan rumah tanpa tujuan dan alasan yang jelas, serta tergugat apabila marah sering mengeluarkan kata-kata kasar seperti “kepala bapak kau”, “kurang ajar kamu”, “anjing”, “babi”, dan lain-lain (hal. 6 – 12).
Dalam pertimbangan Majelis Hakim, perceraian antara penggugat dan tergugat dapat terjadi karena alasan yang terdapat dalam Pasal 19 huruf (f) PP 9/1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI, yaitu antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (hal. 15-16).
Dengan demikian, dengan dikabulkannya gugatan penggugat, maka pengadilan menjatuhkan talak tergugat terhadap penggugat, dan oleh karena perceraian ini adalah yang pertama, maka berdasarkan Pasal 119 KHI, talak yang dijatuhkan terhadap penggugat adalah talak satu ba’in sughra (hal. 17-19).
Adapun yang dimaksud dengan talak ba`in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.[7]
Baca juga: Cara untuk Rujuk Setelah Ditalak Bain Sughra
Definisi dan Jenis-jenis KDRT
Lalu, timbul pertanyaan, apakah perbuatan suka marah-marah/kasar secara verbal dan sering membanting pintu termasuk kekerasan?
Menurut Pasal 1 angka 1 UU PKDRT, Kekerasan dalam Rumah Tangga (“KDRT”) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Lebih lanjut, jenis-jenis KDRT dalam dikelompokkan ke dalam 5 bentuk, yaitu:[8]
Dengan demikian, menurut hemat kami perbuatan suami Anda yang suka marah-marah dan kasar secara verbal merupakan KDRT. Selain itu, perbuatan suami Anda yang seringkali membanting pintu, dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis, karena perbuatannya mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Anda).[9]
Pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp9 juta. Dalam hal kekerasan psikis dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara maksimal 4 bulan atau denda maksimal Rp3 juta.[10]
Baca juga: Hukum KDRT Suami Pukuli Istri Berkali-kali
Sebagai informasi, Anda sebagai korban KDRT dapat melaporkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga melalui beberapa layanan sebagai berikut:
Korban KDRT dapat pula melaporkan kejadian KDRT langsung ke pihak kepolisian. Langkah lebih detail dapat disimak dalam Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Putusan Pengadilan Agama Sarolangun 0077/Pdt.G/2011/PA.Srl.
[2] Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan
[4] Pasal 116 huruf g dan h KHI
[5] Pasal 132 ayat (1) KHI
[6] Pasal 133 ayat (2) KHI
[7] Pasal 119 ayat (1) KHI
[8] Mohammad ‘Azzam Manan, MA. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Sosiologis. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5, No. 3, 2008, hal. 15 – 16
Yunaidi/National Geographic Traveler
Seorang peternak bergurau dengan sepasang merpati di tepi Kali Angke, Pekojan, Jakarta Barat. Merpati batu atau merpati karang adalah burung peliharaan tertua di dunia. Mereka disebutkan dalam hieroglif Mesir.
Nationalgeographic.co.id—Merpati batu atau merpati karang adalah burung peliharaan tertua di dunia. Mereka disebutkan dalam hieroglif Mesir.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa domestikasi burung merpati batu mungkin terjadi hampir 10.000 tahun yang lalu. Burung-burung itu telah digunakan dalam berbagai keadaan seperti pembawa pos, hewan suci, hewan peliharaan, dan makanan.
Yang paling terkenal, merpati digunakan selama perang sebagai pembawa pesan. Mereka membawa banyak pesan penting yang membantu menyelamatkan banyak nyawa manusia, dengan beberapa hewan bahkan dianugerahi medali untuk jasa mereka.
Mereka juga digunakan dalam proyek pelatihan seperti Project Pigeon, program sukses yang dipimpin oleh B.F. Skinner, psikolog Amerika Serikat. Proyek ini mencoba dan melatih tiga burung untuk menjadi pilot. Namun, proyek ini akhirnya ditinggalkan dan merpati tidak pernah digunakan dalam perang.
Merpati kota bersarang di rongga gedung-gedung yang tinggi. Jika Anda dapat menemukan sarang itu dan mengintip ke dalamnya, Anda mungkin cukup beruntung untuk menemukan bayi merpati. Jangka waktu merpati muda di dalam sarang sangat singkat, yakni 25 hingga 32 hari setelah menetas.
Merpati yang dipelihara oleh penghobi sering ditempatkan di loteng atau di kandang yang dibuat khusus di taman, gudang, atau halaman belakang. Adapun merpati yang dibiakkan untuk daging mungkin berada di lingkungan industri yang lebih besar, mirip dengan ayam.
Merpati muda disebut-sebut sebagai squab (burung dara muda) di dunia kuliner. Mereka biasanya berusia 4 minggu, beratnya sekitar 340-397 gram, dan seringkali terlalu muda untuk terbang.
Di kawasan Kota Tua Damaskus, Suriah anak laki-laki iseng mengejar merpati yang berkerumun di alun-alun.
Merpati kota adalah omnivora dan akan memakan tumbuhan dan daging, dan mereka tersebar luas sehingga komposisi makanannya bergantung pada lokasi. Biasanya, makanan mereka adalah bahan nabati, dengan sesekali cacing tanah, serangga, dan siput. Namun, di lokasi kota, mereka diketahui memakan sisa makanan yang berserakan. Merpati memiliki makanan yang begitu luas karena tubuh mereka beradaptasi dengan sangat baik.
Bayi merpati diberi susu merpati. Ini adalah zat regurgitasi semi padat yang disediakan oleh induk mereka. Mereka biasanya memakan ini dalam beberapa hari pertama sebelum mereka disapih ke biji-bijian dan makanan lainnya.
Banyak penduduk kota yang kerap memberikan roti kepada merpati. Apakah itu baik? Merpati bisa makan roti, tetapi itu tidak boleh menjadi bagian dari keseluruhan makanan mereka.
Baca Juga: Foto-foto Aerial dari Tahun 1907 Ini Dipotret oleh Burung Merpati
Baca Juga: Merpati Bertenaga Uap Asal Yunani Kuno, Jadi Robot Pertama di Dunia
Baca Juga: Unik, Burung Kondor California Bisa Berkembang Biak Tanpa Kawin
Baca Juga: Penemuan Dua Spesies Baru Burung di Pegunungan Meratus, Kalimantan
Sebelum Anda pergi keluar dengan sekantong roti, berhati-hatilah karena beberapa dewan lokal memperingatkan praktik tersebut karena dapat menimbulkan lebih banyak masalah. Beberapa jenis roti tidak menyediakan semua unsur nutrisi yang dibutuhkan merpati dan dapat menyebabkan kekurangan gizi pada unggas.
Selain itu, memberi makan roti secara umum dapat menyebabkan burung berkumpul di suatu daerah, menyebabkan masalah kotoran burung dan dapat menumpulkan perilaku mencari makan alami merpati.
Daging dan Telur Merpati
Daging merpati adalah bahan makanan yang mungkin Anda lihat di program TV makanan petualangan atau di restoran kelas atas. Sebagaimana dikutip dari IFLScience, merpati yang diternakkan untuk dimakan dapat menghasilkan daging berkualitas tinggi dan lezat, dengan daging squab yang lebih muda lebih disukai. Burung yang lebih muda biasanya memiliki tekstur yang lembut dan rasa yang lembut.
Meski lebih sulit dipanen daripada telur ayam, telur merpati juga dianggap sebagai makanan lezat di beberapa belahan dunia. Berabad-abad yang lalu, telur merpati ditemukan di piring dalam jamuan makan mewah di istana kerajaan kuno. Telur yang dimasak dianggap memiliki tekstur yang memikat dan memiliki permukaan yang halus dan melenting serta aroma yang lebih kaya dari telur ayam.
Telur merpati juga digunakan dalam pengobatan tradisional Tiongkok dan disebut "ginseng hewan". Sebab, telut ini dapat digunakan untuk "membentengi ginjal" dan dianggap dapat memperbaiki kondisi kulit dan mendorong aliran energi ke seluruh tubuh.
Jadi, apa saja informasi baru soal merpati yang Anda ketahui dari tulisan ini?
78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali
© 2024 Harian Metro, New Straits Times Press (M) Bhd (Co. No. 196101000449 / 4485 H). A part of Media Prima Group.
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bisakah Bercerai Karena Suami Selalu Membanting Pintu? yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada tanggal 17 Juli 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Alasan-alasan Perceraian
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, mengenai bisakah menggugat cerai suami karena sering marah-marah dan membanting pintu?
Pada dasarnya, Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan jika ada cukup alasan, yaitu antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Disarikan dari artikel Bisakah Bercerai karena Tak Bisa Punya Anak?, alasan-alasan perceraian telah ditentukan secara limitatif, sehingga suami atau istri tidak dapat sesuka hati menceraikan pasangannya. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 PP 9/1975 telah menentukan alasan perceraian sebagai berikut:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selain alasan-alasan tersebut, Pasal 116 KHI juga menambahkan 2 alasan perceraian lainnya. Menurut Pasal 116 KHI, perceraian dapat terjadi karena alasan suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[4]
Baca juga: Bisakah Cerai karena Suami Pemabuk?
Selanjutnya, Pasal 16 PP 9/1975 menyatakan bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 PP 9/1975, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan jika terdapat alasan-alasan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Menjawab pertanyaan Anda, Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, Pasal 19 PP 9/1975, dan Pasal 116 KHI tidak menyebutkan suami yang suka marah-marah/kasar secara verbal dan sering membanting pintu sebagai alasan perceraian. Namun, istri tetap bisa mengajukan perceraian jika suami berbuat demikian. Karena, perbuatan suami tersebut dapat berakibat pada perselisihan dan pertengkaran, sehingga rumah tangga tidak rukun. Tentunya alasan tersebut diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian yang diajukan istri.
Baca juga: Suami Sering Merendahkan Istri, Ini Pasal untuk Menggugat Cerai
Dasar Hukum Perceraian
Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan telah mengatur bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Di lain sisi, pihak istri juga wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.[1] Apabila salah satu pihak, baik suami maupun istri, mengabaikan kewajibannya tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.[2]
Adapun perceraian merupakan upaya terakhir memutuskan perkawinan yang harus dilakukan di depan sidang pengadilan setelah seluruh upaya mendamaikan suami istri tidak berhasil.[3]
Alasan-alasan Perceraian
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, mengenai bisakah menggugat cerai suami karena sering marah-marah dan membanting pintu?
Pada dasarnya, Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan jika ada cukup alasan, yaitu antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Disarikan dari artikel Bisakah Bercerai karena Tak Bisa Punya Anak?, alasan-alasan perceraian telah ditentukan secara limitatif, sehingga suami atau istri tidak dapat sesuka hati menceraikan pasangannya. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 PP 9/1975 telah menentukan alasan perceraian sebagai berikut:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selain alasan-alasan tersebut, Pasal 116 KHI juga menambahkan 2 alasan perceraian lainnya. Menurut Pasal 116 KHI, perceraian dapat terjadi karena alasan suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[4]
Baca juga: Bisakah Cerai karena Suami Pemabuk?
Selanjutnya, Pasal 16 PP 9/1975 menyatakan bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 PP 9/1975, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan jika terdapat alasan-alasan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Menjawab pertanyaan Anda, Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, Pasal 19 PP 9/1975, dan Pasal 116 KHI tidak menyebutkan suami yang suka marah-marah/kasar secara verbal dan sering membanting pintu sebagai alasan perceraian. Namun, istri tetap bisa mengajukan perceraian jika suami berbuat demikian. Karena, perbuatan suami tersebut dapat berakibat pada perselisihan dan pertengkaran, sehingga rumah tangga tidak rukun. Tentunya alasan tersebut diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian yang diajukan istri.
Baca juga: Suami Sering Merendahkan Istri, Ini Pasal untuk Menggugat Cerai
Dasar Hukum Perceraian
Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan telah mengatur bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Di lain sisi, pihak istri juga wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.[1] Apabila salah satu pihak, baik suami maupun istri, mengabaikan kewajibannya tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.[2]
Adapun perceraian merupakan upaya terakhir memutuskan perkawinan yang harus dilakukan di depan sidang pengadilan setelah seluruh upaya mendamaikan suami istri tidak berhasil.[3]
Gugatan Cerai oleh Istri
Terkait gugatan perceraian, KHI mengatur ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.[5]
Kemudian, gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.[6]
Ulasan selengkapnya mengenai ketentuan istri menggugat suami, dapat Anda temukan dalam artikel Bisakah Istri Diam-Diam Menggugat Cerai Suami? dan Cara Mengurus Surat Cerai dan Langkah Mengajukan Gugatannya.
Baca juga: Panduan Cara Mengurus Surat Cerai Online dan Offline
Sebagai contoh kasus, dalam Putusan PA Sarolangun 0077/Pdt.G/2011/PA.Srl, penggugat mengajukan gugatan perceraian terhadap tergugat, karena antara penggugat dan tergugat terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh tergugat yang sering meninggalkan rumah tanpa tujuan dan alasan yang jelas, serta tergugat apabila marah sering mengeluarkan kata-kata kasar seperti “kepala bapak kau”, “kurang ajar kamu”, “anjing”, “babi”, dan lain-lain (hal. 6 – 12).
Dalam pertimbangan Majelis Hakim, perceraian antara penggugat dan tergugat dapat terjadi karena alasan yang terdapat dalam Pasal 19 huruf (f) PP 9/1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI, yaitu antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (hal. 15-16).
Dengan demikian, dengan dikabulkannya gugatan penggugat, maka pengadilan menjatuhkan talak tergugat terhadap penggugat, dan oleh karena perceraian ini adalah yang pertama, maka berdasarkan Pasal 119 KHI, talak yang dijatuhkan terhadap penggugat adalah talak satu ba’in sughra (hal. 17-19).
Adapun yang dimaksud dengan talak ba`in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.[7]
Baca juga: Cara untuk Rujuk Setelah Ditalak Bain Sughra